Oleh : Christian Vaam Lumenta (Kibot)
JAKARTA KOMENTAR – Kembali ke Mayday 2005 ketika pertama kali saya berdiri di tengah” barisan kaum buruh (saya masih pelajar) menyuarakan beberapa tuntutan, saat itu saya akhirnya tahu bahwa banyak orang yang tidak sadar atau tidak ingin dirinya dikatakan buruh padahal notabene dia bekerja pada suatu perusahaan.
Mayday 2013 kembali saya ada dibarisan dan kali ini saya benar benar seorang buruh media dan masih menyuarakan persoalan” tenaga kerja.
“Industri kreatif” begitu mereka menyebut dunia yang saya jalani. Dan sangat banyak kawan kawan yang juga tidak ingin disebut buruh dan seolah terpisah dari persoalan” buruh.
05 Oktober 2020 sembari kunyalakan sebuah lagu blues di spotify,mulai terdengar keluhan orang orang yang tidak ingin disebut buruh perihal lagu baru dari senayan yang berjudul “OMNIBUS LAW” mungkin itu lagu blues kawan.
Sekarang apakah kita sadar bahwa selama kita bekerja pada orang lain kita adalah buruh? Pilot, Dokter, Produser, Designer, Cameramen dll selama bekerja dalam suatu perusahaan maka kita semua buruh.
Nah, jika sudah begitu rapatkan kembali barisan dan …….
BLUES, OMNIBUS & US
PART 2
Malam itu Jimmy Hendrix menguasai ruangan, volume speaker tidak terlalu berisik menghantar salah satu karya terbaik Hendrix yang berjudul Machine Gun. Seorang kawan memberi kabar telah terjadi kerusuhan dimana mana, aksi massa dibubarkan, saling lempar, gas air mata, mobil polisi dibakar semua informasi ini kuterima sambil ku naikan volume lagu yang dirilis di tahun 1970 itu.
Sebuah reaksi yang sangat wajar pikirku, setelah semua orang tahu bahwa kebanyakan dari kita terancam atas ayunan palu sidang di senayan mengesahkan sebuah UU yang sedari awal sarat akan keberpihakan dan memojokan kaum buruh.
Berapa kali mosi tidak percaya dikeluarkan rakyat untuk sebuah lembaga yang ada di senayan itu? Sepertinya tidak sekali dua kali.
Saat ini aku teringat presiden ke 4, seorang ulama, bapak bangsa yang sangat menjunjung tinggi perbedaan disingkirkan dari jabatannya karena berniat mengeluarkan keputusan untuk membubarkan lembaga yang hari ini menghianati masyarakat. “Gus… sepertinya jika kita kembali ke masa itu, masyarakat akan ada dibelakangmu untuk membubarkan mereka”
Lagu selesai dan wajah Gus Dur memenuhi kepalaku.
BLUES, OMNIBUS & US
PART 3
Jackal Holiday melaju dari Bandung menuju Jakarta. Ya hari ini saya duduk di bangku ketiga dari depan dis sebuah travel yang cukup lengang. Pembicaraan didalam travel ini cukup menyenangkan. “Pak, gimana kondisi jakarta” tanya seorang kawan, dengan santai pak supir menjawab “Aman daerah yang kita tuju, santaaaii”
Pembicaraan singkat yang menggambarkan banyak hal bahwa kita bisa berbeda menanggapi situasi ini, ada yang gelisah dan khawatir, ada yang sudah sangat terbiasa dengan situasi ini, ada yang berapi api menanggapinya, ada yang tidak peduli.
Begitulah kita, berbeda satu dan lainnya. Tapi seperti apapun pilihan sikapmu, ingat tidak ada yang lebih buruk dari perpecahan.
Sepertinya mobil ini tidak memiliki radio atau alat pemutar musik, smartphoneku pun harus ku jaga agar tidak lowbat. Maka kuputuskan untuk tidur sembari nada blues bermain dikepalaku. Aku tersenyum berharap setibanya di Jakarta, perjuangan dan perlawanan terus dilakukan.
PANJANG UMUR PERLAWANAN
Penulis adalah Pekerja Seni