Ketua Sinode Ditetapkan Tersangka. Jacobus : Mari Berbudaya Hukum Yang Benar

PARAMETER HUKUM ADVOKAT TERKAIT PENETAPAN TERSANGKA KETUA SINODE TERKAIT DANA HIBAH

Berita Utama, Bitung1057 Dilihat

BITUNG KOMENTAR, Pasca ditetapkannya 5 (lima) orang tersangka kasus dana hibah sinode GMIM termasuk didalamnya Pdt. HA alias Arina yang saat ini menjabat sebagai Ketua BPMS GMIM, direspon respon salah satu advokat terbaik Sulut Dr. Michael Remizaldy Jacobus, S.H., M.H. Jacobus.

Jacobus yang juga kader GMIM menilai, bahwa prinsipnya Penyidik harusnya sudah memiliki minimal 2 (dua) alat bukti sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Akan tetapi, menurutnya, perlu untuk dipahami bahwa setiap kasus dana hibah itu memiliki kemungkinan mengarah ke tindak pidana korupsi (tipikor). Dimana, lanjut Jacobus, ada 3 (tiga) alasan substantif, jika kemudian terdapat perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan kewenangan pada.

” pertama, level permohonan hingga pencairan dana hibah. kedua, level penggunaan dan pertanggungjawaban dana hibah. Atau ketiga, pada kedua level tersebut secara bersamaan”, Papar Doktor Ilmu Hukum jebolan Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.

Jacobus menambahkan bahwa: Pertama, menurut Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dan beberapa petunjuk teknis menyebutkan kalau helanja hibah memenuhi kriteria paling sedikit:

a) peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;

b) bersifat tidak wajib, tidak mengikat;

c) tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali: (1) kepada pemerintah pusat dalam rangka mendukungpenyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) partai politik dan/atau ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;

d) memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

e) memenuhi persyaratan penerima hibah.

Dengan demikian, Papar Doktor Hukum Termuda Kota Bitung ini, penyalahgunaan wewenang yang menjurus ke korupsi bisa saja terjadi ketika ada kesengajaan meloloskan permintaaan hibah yang tidak memenuhi syarat.

Apalagi lanjut dia, ketika Pejabat terkait sengaja meloloskan atau tidak meneliti secara seksama pemenuhan syarat, maka yang bisa kena tipikor khususnya penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah Pejabat Pemda terkait selaku pemberi hibah.

Menurutnya, terkait pemberiaan hibah ke GMIM yang berlangsung setiap tahun, Dia menilai itu dapat saja dikualifisir sebagai pelanggaran.

“Kemungkinan itu yang jadi sasaran penyidik, walapun bisa saja Pemda memiliki alasan hukum yang menjustikasinya, kedua, tipikor pada level penggunaan dana hibah bisa saja disebabkan oleh penggunaan yang secara eksplisit dilarang oleh Undang-Undang, atau dilarang peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah dan berakibat pada memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi. Sedangkan, ketiga adalah kombinasi kedua alasan dimaksud,” jelas Jacobus.

Jacobus juga menyoroti jika kemudian dana hibah bisa dipergunakan untuk hadiah atau katakanlah semacam “diakonia” kepada Pendeta-pendeta atau pihak lainnya.

“Jawabannya sederhana, bisa kena tipikor atau tidak sangat tergantung pada sumber hukum apa yang melarang penggunaan dana hibah untuk hadiah atau diakonia, Jadi, bila pemberian hadiah itu dilarang secara eksplisit dalam Perjanjian Hibah Daerah antara Pemda sebagai pemberi hibah dan organisasi keagamaan sebagai penerima hibah, maka pelanggaran tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum pidana, melainkan perbuatan melawan hukum perjanjian atau perbuatan melawan hukum perdata atau administratif yang berujung pada TGR (Tuntutan Ganti Rugi)”, urai Jacobus.

Jacobus adalah advokat yang memiliki jam terbang mumpuni terkait perkara Korupsi. Dia yang telah menyelesaikan disertasinya dibidang tindak pidana korupsi, juga diketahui sebagai Advokat yang pernah membebaskan terdakwa tipikor Bendahara Inspektorat Kabupaten Mitra tahun 2019.

Pengalamannya menunjukan, bahwa larangan penggunaan dana hibah untuk peruntukan tertentu tidak dapat menjadi pidana apabila larangan tersebut tidak diatur dalam regulasi negara secara tertulis.

“Itulah sebabnya, jika benar penetapan tersangka terhadap Pdt. HA karena telah menggunakan dana hibah untuk pemberian hadiah berupa diakonia uang atau barang atau transaksi lainnya, maka kita lihat dulu rujukan hukumnya. Apakah itu dilarang peraturan perundang-undangan, atau larangan diatur dalam Perjanjian. Jika dilarang peraturan perundang-undangan, maka itu tipikor. Sedangkan, jika dilarang oleh Perjanjian Hibah, maka itu ranah hukum perdata yakni wanprestasi yang berujung pada TGR (Tuntutan Ganti Rugi), bukan pidana, “ tutur advokat yang berkantor di Citylofts Sudirman Jakarta Pusat ini.

Jacobus juga menjelaskan kenapa harus dilarang secara eksplisit oleh regulasi negara, karena Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor telah dikoreksi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005, yang awalnya definisi perbuatan melawan hukumnya dalam arti (formele wederrechtelijkheid) dan dalam arti materiil (materiele wederrechtelijkheid) dimana perbuatan seseorang dikualifisir melawan hukum tidak hanya karena ada larangan eksplisit atau aturan eksplisit tertulis, akan tetapi juga karena melawan rasa keadilan masyarakat.

Namun saat ini perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 telah diubah menjadi perbuatan melawan hukum dalam arti formal semata, sehingga aturan eksplisit yang dilanggar harus benar-benar ada dan tertulis (lex scripta).

“Itulah sebabnya, ketidak-bolehan atau kebolehan penggunaan dana hibah untuk peruntukan tertentu, harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang eksplisit”, pungkas Jacobus.

Pada kesempatan itu, Sebagai warga GMIM, Jacobus berharap semua pihak dapat berbudaya hukum yang benar, dewasa dan bijak dalam meresponi kasus yang menimpah gereja.

“Kita harus berjuang untuk menegakan kebenaran, akan tetapi berhati-hati jangan pernah merasa diri paling benar. Karena itu sebagai advokat yang bertumbuh dalam pelayanan GMIM, Saya berharap semua pihak berbudaya hukumlah yang benar. Artinya, pihak penyidik harus bertindak tanpa pandang buluh tetapi juga harus profesional dan transparan, sehingga penegakan hukum dapat berjalan secara konstitusional.

Dia menghimbau, kepada saudara-saudaraku warga GMIM mari bertindak proprosional, artinya dudukan semua problem sesuai porsinya. Jika ada pelanggaran secara institusional organisasi oleh Pdt. HA yang menjadi domain internal organisasi GMIM, mari selesaikan ke dalam.

Namun, Jika ada pelanggaran yang menciderai secara Rohani, biarkan beliau pertanggungjawabkan kepada Sang Kepala Gereja. Jika ada persoalan hukum, mari melewati prosedur hukumnya.

” Jangan terlalu berlebihan kita menghakimi karena ukuran yang sama akan diukurkan kepada kita juga”, harap Jacobus.

Ketika ditanyakan terkait isu demo dan langkah strategis apa yang bisa ditempuh pihak Pdt. HA, direktur MRJ Law Office itu mengingatkan untuk pertimbangkan efisiensi dan targetnya.

“Terkait adanya isu demo, menurut Saya itu bagian dari demokrasi, namun harus dikalkulasi apakah itu efisien, dan targetnya apa? Milikilah budaya hukum yang benar. Jika sudah masuk pada tahapan penetapan tersangka seperti ini, maka ada beberapa langkah hukum yang bisa ditempuh Pdt. HA, yakni bentuk tim advokasi yang kuat dengan langkah: pertama, ajukan pengaduan Masyarakat (DUMAS) ke Mabes Polri untuk minta digelar perkara khusus terkait alasan hukum dan alat bukti penetapan tersangka, kedua, ajukan praperadilan. Semua ada plus dan minusnya, namun langkah-langkah tersebut menurut Saya sangat rasional dan konstitusional” pungkasnya.

Akhirnya, “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei” artinya “Gereja yang telah direformasi adalah Gereja yang (harus) terus-menerus diperbarui berdasarkan dengan firman Allah.” Jadi, biar proses ini jadi komtemplasi minggu sengsara untuk terus membaharui GMIM yang sama-sama kita cintai”, tutup Jacobus (**).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *