Notification

×

Iklan

Iklan

Perempuan Pedagang Ikan Tersangkut Kasus Arisan di Minahasa Selatan, Lawyer: Prinsip Due Process of Law Harus Diterapkan

Kamis, 29 Agustus 2024 | 07:54 WIB Last Updated 2024-08-29T10:49:23Z


TOMOHON KOMENTAR - Seorang perempuan pedagang ikan di Minahasa Selatan, yang dikenal dengan inisial UK alias Wati, terpaksa harus berurusan dengan penegak hukum akibat keterlibatannya dalam kasus arisan. Sidang kedua kasus yang melibatkan ibu-ibu pebisnis ikan ini telah digelar di Pengadilan Negeri Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, pada Selasa 27 Agustus 2024.


Dalam sidang perdana sebelumnya, Pengadilan Negeri Amurang menetapkan UK alias Wati sebagai terdakwa dalam perkara Pidana Nomor 57/Pid.B/2024/PN Amr. Dalam surat dakwaan tertanggal 6 Agustus 2024, Wati dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan dakwaan alternatif. Dakwaan tersebut meliputi pelanggaran Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan sebagaimana diubah terakhir dengan UU RI Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, atau pelanggaran Pasal 378 KUHP tentang penipuan, atau pelanggaran Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.


Pada sidang kedua, penasihat hukum terdakwa, William Edson Apena, S.H., menegaskan bahwa Wati sebenarnya adalah korban dalam kasus arisan ini. Apena menyampaikan bahwa JPU belum memberikan salinan lengkap berkas perkara kepada terdakwa dan penasihat hukumnya, meskipun ini merupakan hak dasar terdakwa.


Apena juga menjelaskan bahwa kliennya tidak melakukan tindak pidana perbankan, penipuan, atau penggelapan sebagaimana yang didakwakan oleh JPU. Sebaliknya, Wati adalah korban dari arisan lelang yang diadakan oleh terpidana UA alias Sarah dalam Perkara Nomor 16/Pid.Sus/2024/PN Amr Jo Perkara Nomor 76/PID/2024/PT MND.


Menurut Apena, Wati baru kali ini menghadapi persoalan hukum dalam hidupnya. Meskipun ada rasa takut dalam menghadapi proses hukum ini, Wati tetap teguh pada prinsip bahwa dirinya tidak bersalah. Apena berencana untuk memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Wati memang tidak bersalah.


Apena juga mempertanyakan mengapa hingga sidang kedua ini JPU belum menyerahkan salinan berkas perkara kepada terdakwa dan penasihat hukumnya, meskipun majelis hakim telah memerintahkan hal tersebut pada sidang sebelumnya. Apena menegaskan bahwa Wati memiliki hak konstitusional untuk diadili dengan proses hukum yang baik, benar, adil, dan tidak sewenang-wenang, termasuk hak untuk mendapatkan salinan atau turunan dari berkas perkara.


Dalam wawancara, Apena menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dikenal prinsip *due process of law* yang berarti proses hukum yang baik, benar, dan adil. Penerapan *due process of law* tercermin dalam asas-asas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti kesetaraan di muka hukum, praduga tak bersalah, hak tersangka atau penasihat hukum untuk mendapatkan salinan dari BAP dan berkas perkara, serta kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan bukti yang sah.


Sidang kedua kasus arisan ini dipimpin oleh Majelis Hakim Marthina Ulina Sangian Hutajulu, SH, M.H.Li, Swanti Novitasari Sibori, SH, dan Dearizka, SH., M.H., dengan Jaksa Ferdi Ferdian Dwirantama, SH. Pada awal persidangan, Apena meminta penundaan sidang karena JPU baru menyerahkan berkas perkara kepada terdakwa, namun majelis hakim memutuskan untuk melanjutkan sidang dengan pemeriksaan saksi yang hadir.


Saksi yang dihadirkan adalah Irawati, yang mengaku telah mengenal Wati selama kurang lebih tujuh tahun sebagai teman dan partner dalam bisnis ikan. Irawati mengklaim mengalami kerugian sebesar 48 juta rupiah akibat arisan ini. Menurut Irawati, Wati mengajaknya untuk ikut arisan lelang dengan keuntungan 100% dalam tiga hari, yang membuatnya tertarik.


Namun, Apena menegaskan bahwa Wati tidak pernah menawarkan arisan tersebut kepada Irawati. Justru Irawati sendiri yang pertama kali mengajak Wati untuk ikut serta dalam arisan tersebut, yang dikelola oleh terpidana UA alias Sarah. Apena juga menjelaskan bahwa Wati adalah korban dalam arisan ini, dengan jumlah uang yang digelapkan jauh lebih besar dibandingkan uang milik Irawati.


Dalam persidangan, terjadi perdebatan antara saksi dan penasihat hukum terdakwa terkait hubungan antara saksi dan Sukmi, yang juga terlibat dalam arisan lain. Majelis hakim dengan tegas memimpin sidang dan meminta saksi untuk menjawab pertanyaan dari penasihat hukum terdakwa.


Sidang akan dilanjutkan minggu depan untuk pemeriksaan saksi lebih lanjut. Apena menegaskan bahwa Wati bukanlah pihak yang bersalah dan tidak layak dijadikan terdakwa dalam kasus ini, karena ia sendiri adalah korban dan bukan pengelola dana arisan tersebut.


Menurut keterangan Apena, awalnya Wati dan Irawati adalah teman dekat yang memiliki bisnis yang sama, yakni jual beli ikan. Wati tidak pernah menawarkan kegiatan arisan tersebut kepada Irawati. Justru Irawati yang menghubungi Wati terlebih dahulu dan mengajak Wati untuk ikut dalam arisan tersebut. Irawati sendiri sudah mengikuti arisan tersebut melalui anggota lain dari pemilik arisan, UA alias Sarah.


Apena menjelaskan bahwa Wati bukanlah anggota yang menghimpun atau mengumpulkan dana masyarakat, melainkan juga korban di mana jumlah uang yang disetor oleh Wati jauh lebih besar dari yang disetor oleh Irawati. Uang arisan mereka telah digelapkan oleh pemilik arisan.


Irawati menitipkan dananya melalui adik Wati, Zulkarnain Katili, yang kemudian mentransfer uang tersebut ke rekening pemilik arisan. Apena menegaskan bahwa uang Wati dan Irawati telah ditransfer ke rekening pemilik arisan, dan uang Wati yang digelapkan lebih banyak dari uang Irawati. Oleh karena itu, menurut Apena, pemilik arisanlah yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini.


Sidang kasus ini akan dilanjutkan minggu depan untuk pemeriksaan saksi lebih lanjut. Penasihat hukum Wati bertekad untuk membuktikan bahwa kliennya tidak bersalah dan seharusnya tidak dijadikan terdakwa dalam kasus ini.

×
Berita Terbaru Update